top of page
Search
  • aliamberrr

Solaris (1972): Ulasan dan Latar Belakang

Barangkali tulisan ini menjadi ulasan film pertama saya, begitupun dengan biografi sang sutradara, yakni Andrei Tarkovksy, dalam perilaku dan pendekatannya terhadap pembuatan film. Setelah menonton beberapa film dengan latar belakang etnolinguistik Slavia, saya memiliki ketertarikan khusus untuk mencoba beberapa film tertentu, dari yang konvensional hingga yang memiliki esensi art-house, dan khususnya memiliki tema sejarah yang kontemplatif seperti Come and See (1985), Ivan’s Childhood (1962), dan Chernobyl (2019). Film-film tersebut juga meliputi beberapa produser terkenal seperti HBO dan distributor yang berperan dalam revitalisasi film seperti Criterion dan Janus. Pertama kali saya mencoba untuk menonton film karya beliau adalah sekitar dua tahun yang lalu berjudul Stalker (1979). Film tersebut terkenal dengan sifatnya yang transendental, filosofis, dan hampir religius hingga batas tertentu. Sifat tersebut agaknya tertular hingga sinematografi dan soundscape-nya, sifat yang khas dari film-filmnya yang cenderung impresionis, khususnya pasca Ivan’s Childhood debut ke dunia sinema.



Solaris, terbit di bioskop pada tahun 1972, merupakan film dengan tema fiksi ilmiah, dan merupakan sebuah tantangan bagi Andrei Tarkovsky sendiri dalam proses pembuatan filmnya. Film ini menceritakan seorang psikolog bernama Kris Kelvin (Donatas Banionis) yang ditugaskan untuk memberikan dukungan psikologis bagi para kru penjelajah antariksa di sebuah stasiun angkasa atas kejadian-kejadian aneh yang menimpa mereka. Kejadian aneh tersebut meyebabkan para kru stasiun angkasa tersebut menjadi “gila”. Setelah sampai ke stasiun angkasa tersebut, Kris Kelvin dijumpai dengan kru-kru mereka yang, ketimbang menyambutnya, ternyata sibuk atas urusan mereka masing-masing. Di sini menjadi titik mula keanehan tersebut muncul. Kru-kru di stasiun angkasa tersebut meliputi 4 orang yang di antaranya: Seorang sibernetik bernama Doktor Snaut (Yüri Yärvet), Doktor Sartorius (Anatoliy Solonitsyn), dan Doktor Gribarian (Sos Sargysan) yang diketahui bunuh diri setelah Kris Kelvin sampai ke stasiun angkasa tersebut. Masing-masing kru mengalami kejadian anehnya sendiri, begitupun Kris Kelvin yang didatangi istrinya yang bernama Hari (Natalia Bondarchuk) yang telah meninggal 10 tahun yang lalu, di situlah awal mula komplikasi dimulai, di mana masalah utamanya adalah eksistensi makhluk lain di dalam stasiun antariksa tersebut. Selain mengulas cerita, saya akan mencoba membahas segala aspek historis di balik layar film ini.


Solaris diadaptasi dari novel Stanislaw Lem yang merupakan penulis asal Polandia, meskipun begitu, menurut banyak pembaca novel tersebut, banyak perbedaan yang mencolok dari setiap hal yang dimunculkan dalam film dan novel tersebut. Bahkan, Lem sendiri keberatan dengan scene akhir film tersebut yang jauh dari apa yang digambarkan oleh beliau di dalam novelnya. Beliau menganggap film tersebut lebih condong terhadap eksistensialismenya beserta dengan dorongan-dorongan filosofis, bahkan Lem merasa dia mengadaptasi film tersebut dari novel Crime and Punishment karya Fyodor Dostoevsky ketimbang novelnya sendiri. Alasan mengapa Solaris diadaptasi oleh Tarkovsky adalah ketertarikan beliau atas novel tersebut, dan juga karena Tarkovksy membutuhkan sebuah pekerjaan dan uang, bukan semata-mata ketertarikan beliau terhadap genre fiksi ilmiah yang di sini menjadi pertama kalinya beliau terjun. Di samping keberatan Lem atas plot yang berbeda ternyata minat sutradara lain untuk mengadaptasi film tersebut cukup besar, contoh seperti James Cameroon dan Steven Sodenbergh yang berhasil membuat adaptasinya sendiri yang muncul di bioskop 2002 silam. Tarkovsky melihat karya Lem sebagai sebuah gambaran akan perubahan moral pada karakter, bagaimana kejadian-kejadian tertentu memengaruhi takdir seseorang. Tanggapan Tarkovsky dalam novel Lem adalah bahwa Tarkovsky melihat penulisan Lem tidak fokus pada genre yang disaji novel tersebut yakni fiksi ilmiah. Namun, juga perubahan moral yang sangat amat dipengaruhi oleh pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang berkembang. Dari apa yang saya tangkap di sini adalah Tarkovsky menjadikan perkembangan karakter menjadi fokus utama dalam jalannya film, tidak serta merta memanjakan penonton dengan depiksi teknologi-teknologi imajinatif yang paling mutakhir dalam pikiran sang pembuat film. Oleh karenanya lah, Tarkovsky sangat bertentangan dengan film Stanley Kubrick berjudul 2001: A Space Odyssey. Hal tersebut karena Kubrick sangat mencondongkan detail struktur material masa depan. Bagi Tarkovsky, hal tersebut bukanlah sebuah karya seni, melainkan sebuah kepalsuan dan harus dihilangkan untuk membangun sebuah karya seni yang asli. Menurutnya, genre fiksi ilmiah hanyalah sebuah distraksi atas maksud asli Solaris yang hendak disampaikan. Perbedaan yang jauh atas depiksi terlihat dalam pemikiran dan pendekatan beliau terhadap pembuatan film tersebut. Tarkovsky, berbeda dengan Kubrick, menggambarkan imajinasi atas sesuatu yang belum pernah dialami sebelumnya—di sini berarti tema fiksi ilmiah beserta dan segala aktivitasnya—dengan menggambarkannya secara “asli” tanpa memandang sisi eksotis yang memanjakan para penonton, sebaliknya Tarkovsky memberikan penonton kesempatan untuk melihat gambaran-gambaran fiksi ilmiah tersebut dari pandangan karakter di dalam film. Eksotisme dalam struktur material masa depan menurutnya harus dikesampingkan dan diganti dengan pandangan untuk memproduksi depiksi-depiksi yang asli karena dapat mengganggu motif asli adaptasi film.


Umumnya, Tarkovsky lebih tertutup dalam memberikan naskah demi akting yang natural dari para aktornya. Dengan sifat Tarkovsky yang tertutup dengan naskahnya, para aktor dapat melakukan akting dalam kamera secara lebih leluasa dan alami. Contohnya, dalam film Mirror, tokoh utama wanita (Margarita Terekhova) tidak diberitahu naskah film sebelum proses syuting berlangsung. Tarkovsky tidak mendiskusikan hal tersebut dengan sang aktor dan lebih menekankan agar para aktor tidak berusaha untuk mencoba mencari tahu perannya dalam setiap scene. Awalnya Margarita keberatan namun berangsur-angsur memahami motif sang sutradara.


Hubungan aktor tokoh utama Solaris, Kris Kelvin, dengan sang sutradara sendiri dapat dibilang cukup unik. Tarkovsky menyebutkan bahwa beliau sulit untuk membangun hubungan dengan sang aktor (Donatas Banionis) dan mengategorikan aktor tersebut ke dalam kelompok yang analitis, yakni bersikeras untuk mengetahui jalannya cerita, tujuan utama pembuatan film, dan lain-lain, seolah-olah tugas sang sutradara digantikan olehnya. Meskipun begitu, beliau senang dengan performanya sebagai tokoh utama. Sebenarnya saya sendiri tidak terlalu suka dengan akting tokoh utama, saya rasa beliau kurang memberikan akting yang dapat menggugah hati para penonton. Bahkan, aktor-aktor lain seperti Anatoliy Solonitsyn (Dr. Sartorius) dan Yüri Yärvet (Dr. Snaut) lebih meyakinkan. Mungkin hal ini beriringan dengan pilihan sang sutradara atas peran mereka masing-masing, apalagi Tarkovsky sangat menyukai akting sang aktor seperti Anatoliy Solonitsyn yang menurutnya sangat karismatik. Akting tersebut juga akhirnya membawanya untuk berperan juga dalam film-filmnya yang lain seperti Andrey Rublev (1966), Mirror (1975), dan Stalker (1979). Beliau juga sudah dilobi oleh Tarkovsky untuk mendapatkan peran utama dalam film yang akan datang seperti Nostalghia (1983) dan The Sacrifice (1986) namun meninggal sebelum film tersebut terbit di bioskop. Meskipun begitu, aktor lain seperti Nikolai Grinko juga menjadi salah satu aktor favoritnya untuk diperankan dalam filmnya. Perjalanan beliau dalam mencari sang aktor merupakan tantangan utama baginya.


Dalam bukunya Sculpting in Time, Tarkovsky berpendapat bahwa sesi pencarian aktor merupakan salah satu usaha pembuatan film yang paling rumit; prosesnya begitu lama dan melelahkan. Hampir tidak mungkin bagi seorang sutradara untuk menebak aktor mana yang dapat memberinya jalan menuju kesuksesan dalam dunia sinema. Presisi sang sutradara dalam memilih aktor yang baik (atau buruk) baginya hanya dapat terbilang benar ketika pembuatan film sudah mencapai setengahnya. Dalam pencarian aktor untuk Solaris, Tarkovsky dibantu oleh asistennya, yakni istrinya sendiri, hingga menuju Leningrad untuk mencari aktor yang cocok untuk memerankan Dr. Snaut. Alhasil beliau menemukan aktor yang mengesankan dari Estonia, Yüri Yärvet. Yüri Yärvet sendiri, dalam sesi syuting, harus berdialog menggunakan bahasa Rusia, Tarkovsky sendiri agak menyesalkan hal tersebut karena dapat memengaruhi kualitas akting Yüri Yärvet di mana jika saja beliau menggunakan bahasa aslinya, yakni Estonia, dalam proses syuting, hal itu akan memberikan performa akting yang lebih natural ketimbang jika tidak menggunakan bahasa aslinya. Adapun masalah kekhawatiran atas kepemahaman penonton dapat ditanggulangi dengan penggunaan dubbing.



Solaris menurut saya bukanlah yang terbaik dari karya fiksi ilmiah beliau yang diluncurkan pada 1979, yakni Stalker. Banyak scene yang menurut saya sangat abstrak dengan dialog beserta sinematografinya. Sinematografi yang dihadirkan dalam film-filmnya memang cenderung menggunakan teknik ­­long take tapi usaha penggunaan teknik tersebut sebenarnya tidak akan menjadi sia-sia jika pemandangan yang ditawarkan dapat menggoda para penonton. Sebaliknya, dalam film Solaris penggunaan tersebut terasa sia-sia karena latar tempat yang digunakan selalu berada di dalam ruangan, menurut saya ini dapat menciptakan efek klaustropobis jika sebuah take terlalu lama dilakukan. Dibanding dengan Stalker perkembangan karakter di Solaris lebih terlihat karena memang itulah tujuan utama sang penulis karya tersebut, untuk memberikan perubahan moral dalam karakter dengan menyajikan tema yang bersifat fiksi ilmiah.


Ya, seperti yang telah disebutkan, tujuan utama sang sutradara memang untuk menonjolkan perubahan dengan sajian eksistensialisme karakter film tersebut, baik dari protagonis (Kris Kelvin) maupun para deuteragonis (Hari, Dr. Snaut, Dr. Sartorius). Menurut saya, dalam segi visual, di luar penggunaan sumber daya komputer untuk me-render segala aset tiga dimensi yang ada sangatlah indah, terutama ketika Kris Kelvin masih berada di Bumi. Sinematografi yang baik dari Vadim Yusov juga memberikan efek yang menenangkan ketimbang, jika dibandingkan dengan Kubrick, yang kerap menggunakan ­long take yang intens, penuh dengan emosi. Musik yang digunakan oleh Eduard Artemyev juga mendukung, cocok dengan nuansanya yang kontemplatif. Sebenarnya penggunaan musik dalam film tersebut cukup jarang, mungkin musik hanya diputar ketika sang karakter hendak melakukan adegan yang penting seperti ketika gravitasi menjadi nol di stasiun angkasa dan Kris Kelvin memeluk Hari, umumnya penggunaan musik hanya terjadi ketika proses long taking berlangsung.


Andrei Tarkovsky agaknya lebih menyukai jalan cerita Stalker ketimbang Solaris bersama dengan nuansa fiksi ilmiahnya. Beliau mengatakan, seperti penjelasan sebelumnya, bahwa segala properti seperti stasiun angkasa, roket, dan lain-lain yang menggambarkan struktur material masa depan, hanyalah sebuah distraksi atas jalannya cerita. Tarkovsky merasa ada kekurangan dalam hal tersebut dan berandai-andai bahwa film tersebut dapat saja menjadi lebih baik jika para kru dan dirinya dapat mempersiapkan lebih baik lagi.



Sumber:


Tarkovsky, A., & Hunter-Blair, K. (1989). Sculpting in time: reflections on the cinema. University of Texas Press.


Abramov, N. (1971). Dialogue with Andrei Tarkovsky about Science-Fiction on the Screen. Andrei Tarkovsky Interviews. Jackson: University Press of Mississippi, 32-37.


42 views0 comments

Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page