top of page
Search
  • aliamberrr

Neorealisme Dalam Perfilman di Indonesia

Sejarah perfilman di Indonesia pertama kali dimulai pada tahun 1900 ketika pemerintah Hindia Belanda mengimpor film-film bisu dari Eropa. Perkembangan film di Indonesia terjadi ketika dunia sudah menyediakan film ‘talkies’ atau film suara pada tahun 1926, dalam periode ini aliran-aliran dalam perfilman mulai terlihat. Perkembangan film Indonesia mulai menunjukkan dinamikanya ketika film cerita Indonesia pertama rilis pada tahun 1926 berjudul “Loetoeng Kasaroeng”. Setidaknya penduduk Indonesia lebih disuguhi dua jenis film dari awal perkembangannya hingga sekarang, yakni jenis film genre dan neorealisme. Aliran genre adalah aliran yang muncul dari hasil produksi film Amerika Serikat atau Hollywood, secara garis besar para penonton disuguhkan berbagai macam narasi dan teknik yang memanjakan mereka. Aliran neorealisme adalah aliran para sineas Italia yang memiliki gaya khas alirannya seperti: penggunaan aktor non-bintang, penggunaan figura yang memiliki peran asli tersebut di kehidupan nyata, improvisasi, menggunakan lokasi asli di penyutingan, dan biaya pembuatan film yang cenderung murah dan yang paling penting adalah cara film tersebut menyampaikan ceritanya dengan sentimental dan mencerminkan kehidupan sosial pada saat itu. Secara garis besar, aliran neorealisme memiliki tujuan untuk mengajak para penonton berpikir baik secara nurani maupun intelek karena butuh usaha yang lebih untuk membuat film neorealisme, khususnya karena soal keuangan yang apa adanya. Film neorealisme pertama yang dirilis di Italia adalah Ossessione (1943) karya Luchino Visconti, kemudian aliran tersebut dimarakkan oleh Roberto Rosellini di filmnya yang bernama Rome, Open City (1946). Meskipun aliran tersebut marak dari tahun 1940-an hingga 1950-an di Italia, Indonesia baru pertama kali mengadopsi aliran tersebut pada tahun 1950 di film karya Umar Ismail, yakni Darah dan Doa (1950) yang dirilis oleh Perfini. Film lain yang memiliki unsur-unsur neorealisme di antara lainnya adalah Si Pintjang (1951) karya Kotot Sukardi. Di Indonesia, film-film seperti ini menjadi usaha untuk membangkitkan semangat nasional. Revisiting Italian Neorealism: Its Influence Towards Indonesia and Asian Cinema or There’s No such Thing Like Pure Neorealist Films karya Ekky Imanjaya membahas tentang bagaimana pengaruh aliran neorealisme dari Italia terhadap sineas-sineas di Indonesia. Dan memberikan pernyataan bahwa tidak ada neorealisme yang murni. Tulisan ini meredefinisikan neorealisme dengan mempertanyakan ulang secara kritis kata tersebut dengan meminjam definisi dari tokoh-tokoh perfilman lain, seperti Andre Bazin dan Bert Cardullo. Tulisan ini juga memberikan referensi-referensi sumber primer film-film yang memiliki esensi neorealisme. Sejak film pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1900, masyarakat Indonesia hanya disajikan dengan film genre (contohnya adalah film Hollywood), yang memberikan sajian-sajian cerita fiksi, dengan kata lain mereka menonton film untuk lari dari kenyataan. Sedangkan, film dengan aliran tersebut memberikan gambaran atas realita sosial yang ada. Tujuan terhadap penulisan ini adalah untuk meneliti bagaimana film-film neorealisme berpengaruh terhadap jiwa revolusi bangsa pada masa itu, kemudian adalah untuk memperdalam pengetahuan saya mengenai sejarah perfilman serta menyumbangkannya kepada akademisi-akademisi yang tertarik untuk mempelajari sejarah perfilman. Yang menjadi pertanyaan dalam pembahasan kali ini adalah bagaimana konsepsi aliran neorealisme berkembang di Indonesia dan mempengaruhi sineas-sineas Indonesia pada masa itu?





Mengenai aliran neorealisme itu sendiri seperti yang telah dijelaskan sudah muncul pertama kali dari Italia setelah masa kejayaan Mussolini berakhir. Sejarah perkembangan neorealisme itu sendiri dicetuskan oleh beberapa sutradara yang hidup di Italia pada dan setelah Perang Dunia II. Beberapa karya yang sangat terkenal adalah film yang dibuat oleh Vittorio De Sica berjudul Ladri Di Biciclette atau Bicycle Thief yang dirilis pada tahun 1948. Film ini menceritakan seorang pria yang berusaha mencari kerja demi keluarganya. Pria tersebut kemudian mendapatkan pekerjaan sebagai tukang menempel poster film dan syarat yang harus dipenuhi oleh sang pria tersebut untuk mendapatkan pekerjaan tersebut adalah memiliki sepeda. Namun, naasnya sepeda tersebut dicuri oleh seseorang dan pria tersebut mulai menemui satu konflik hingga ke yang lainnya. Petualangan pria tersebut mencari sepedanya ditemani oleh anaknya. Film ini menggambarkan kondisi sosial masyarakat Italia pada masa itu. Gambaran yang dihasilkan oleh Vittorio De Sica atas masyarakat Italia cukup apik dalam menjelaskan keadaan di sana. Ditambah lagi, metode dalam pembuatan film ini sangatlah berbeda dengan metode konvensional Hollywood yang bergantung terhadap penyutingan di studio (studio system) di mana pembuatan film neorealisme tersebut dilakukan dengan penyutingan di tempat peristiwa secara langsung tanpa mengatur set yang kerap memberikan efek artifisial pada film. Namun, menurut Cardullo, neorealisme sebenarnya lebih merujuk kepada ekspresi moral yang bersifat politis ketimbang pergeseran metode dalam gaya penyutingan saja.


Proses neorealisme berkembang di Itali itu sendiri sebenarnya juga karena pemerintah Italia pada era Mussolini sadar akan pengaruh media populer terhadap penyaluran ideologi terhadap masyarakat banyak. Oleh karenanya, pemerintah Italia yang berpaham fasis tersebut mengakomodasikan kepada masyarakatnya untuk membuat film, mereka memberikan segala kebutuhan fundamental yang diperlukan demi melancarkan propaganda ideologi pemerintah terhadap masyarakatnya. Bahkan, dalam rangka mengakomodasi industri perfilman di Italia mereka membangun sekolah perfilman pada tahun 1935 bernama Centro Sperimentale di Roma dan dikepalai oleh Luigi Chiarini untuk mengajarkan berbagai aspek produksi perfilman. Roberto Rossellini dan sutradara-sutradara beraliran neorealisme lainnya pernah bersekolah di sini (Vittorio De Sica tidak termasuk). Usaha mengembangkan industri perfilman oleh rezim Mussolini pada akhirnya menghasilkan para sutradara, editor, dan kameramen. Setelah jatuhnya rezim Mussolini, perkembangan industri perfilman lebih condong ke arah ideologi-ideologi kekirian.


Dengan jatuhnya blok Poros (Axis), perubahan dalam perkembangan industri perfilman Italia mulai terlihat dari berubahnya pola marketing dunia film, di mana marketing tersebut adalah marketing ekonomi klasik. Para produser-produser kecil di Italia saling berkompetisi untuk memperlihatkan kebolehan mereka. Di lain sisi, iklim politik yang ada di Italia pada masa setelah peperangan sangat cocok dengan budaya dan kriteria gaya neorealisme, hal tersebut datang dari gerakan-gerakan seni yang diinisiasi oleh para partisan di Italia. Para partisan tersebut yang juga berperan sebagai produsen neorealisme juga berperan sebagai simbol semangat resistensi di Italia.



Gambar: Roberto Rossellini (Kacamata Hitam dua dari kanan), The New York Times


Pola neorealisme tersebut pada dasarnya mirip dengan apa yang ada di Indonesia. Film-film yang dibuat di Indonesia pada awal 1950-an sebagian memiliki unsur neorealisme yang cukup pekat, dari jalan cerita, metodologi, serta pemikiran sutradaranya. Contoh yang dapat diambil adalah film Darah dan Doa (1950) seperti yang telah dijelaskan di atas. Perkembangan neorealisme di negara-negara dunia ketiga sebenarnya cukup marak pada masanya karena bercermin dari dinamika politik serta sosialnya, benar unsur neorealisme itu bercermin dari pergerakan dalam unsur politik dan sosial. Salim Said berimplikasi bahwa komersialisme yang dilakukan pada film-film neorealisme di Indonesia memiliki bentuk yang reaksionis terhadap komersialisme yang terdapat pada film-film Indonesia yang bercermin pada sistem komersial Hollywood, di mana industri perfilman Hollywood sangat bergantung pada petinggi (mogul) dalam hal kreativitas sebuah film, sutradara hanya berperan sebagai pemandu dalam pembuatan film tersebut. Namun, dalam film neorealisme, sutradara dapat bebas berekspresi yang kemudian dapat disalurkan ke layar film. Usmar Ismail dan teman-temannya, menurut Salim Said, berusaha untuk mengekspresikan dirinya melalui penggambaran problematika-problematika yang didapat dari dampak Perang Dunia II.


Yang menjadi menarik adalah bagaimana neorealisme tersebut dapat memasuki wilayah Indonesia. Karya-karya film beraliran neorealisme tersebut memang kerap dirilis di negara-negara yang memiliki konflik, yang khususnya adalah dampak langsung Perang Dunia II, pada masa trending-nya. Di Indonesia sendiri, film Darah dan Doa tersebut menjadi cikal bakal film neorealisme pertama di Indonesia yang pada masanya memang sesuai dengan iklim politik saat itu, di mana Indonesia baru saja bebas dari tekanan Belanda pada 1949. Oleh karenanya film yang dirilis pada tahun 1950 tersebut masihlah dapat dianggap sebagai film yang sesuai dengan tren neorealisme, apalagi metode penyutingannya yang sangat cocok pula dengan kriteria aliran tersebut.


Melalui neorealisme, film Darah dan Doa tersebut menjadi sebuah sarana kritik sosial yang merujuk kepada masyarakat di Indonesia pada masa itu. Film ini dapat dibilang sezaman karena film ini memiliki aktor-aktor yang merupakan tokoh asli atau saksi sejarah Revolusi Indonesia dalam rangka menjaga persatuan pada masa itu, mereka adalah Tentara Rakyat Indonesia dan masyarakat pada masa itu. Selain fakta bahwa aktor-aktor tersebut merupakan saksi sejarah, film tersebut sebenarnya hanyalah fiksi belaka yang terinspirasi dari kejadian-kejadian nyata, dalam hal ini adalah Long March Divisi Siliwangi pada tahun 1948 yang peristiwanya terjadi dua tahun yang lalu dari perilisan film.


Film lain yang juga memiliki ‘unsur’ neorealisme adalah Si Pintjang yang dirilis pada tahun 1951 oleh Kotot Sukardi. Film ini memiliki unsur yang mirip dengan Darah dan Doa yakni penggambaran keadaan masyarakatnya yang cukup miris, sehingga film ini juga dianggap sebagai film dengan kritik sosial yang lumayan eksplisit. Film ini ditampilkan pada Festival Film di Cekoslovakia (Festival Film Karlovy-Vary, Ceko) pada tahun 1951. Film ini juga memasuki kategori film anak-anak yang memiliki catatan penting dalam sejarah perfilman Indonesia. Film ini menceritakan Giman sebagai tokoh utama yang pincang sejak lahir. Giman merupakan anak keluarga petani yang meskipun berkecukupan, harus berada dalam situasi yang cukup menyedihkan karena situasi perang pada masa itu sehingga menjadikan keluarga porak poranda. Giman dengan kondisinya yang berpincang-pincang, harus mencari seusap nasi demi kebutuhan primer hidupnya. Dia tidak tahu bahwa ayah dan kakaknya masih hidup dan pada akhirnya menemukan si Giman ini di sebuah asrama khusus untuk anak-anak terlantar. Si Pintjang, meskipun film anak-anak, memiliki pesan-pesan ideologis yang cukup kentara. Namun, meskipun film ini memiliki kriteria cerita kritik sosial yang di mana cukup pas untuk dianggap neorealisme, ternyata metodologi pembuatan filmnya belumlah jelas bagi penulis untuk menentukan apakah film tersebut neorealisme atau bukan.



Gambar: Usmar Ismail, Tempo


Film-film neorealis sebenarnya banyak dibuat oleh para pembuat film pada masa itu, yakni setelah Perang Dunia II. Namun, karena segala faktor baik politik, sosial, dan lain-lain pada masanya, sangat sulit untuk menemukan atau membuktikan bahwa sebuah film itu tergolong atau neorealis atau tidak. Cerita mengenai seorang pembuat film yang cukup terkenal dengan filmnya yang berjudul Turang (yang telah memenangkan beberapa penghargaan pula) bernama Bachtiar Siagian menjadi salah satu cerita yang cukup sedih. Jika saja saya hidup sezaman dengan pembuat film ini, maka saya akan mencoba menanyakan kepada beliau beberapa persoalan yang berkaitan dengan perkembangan film neorealisme di Indonesia. Beliau adalah tokoh perfilman yang dianggap pemerintahan Orde Baru sebagai golongan kiri yang asertif dilihat dari kecenderungan beliau dari film-filmnya yang memiliki nilai seni yang tinggi. Apalagi, Bachtiar Siagian pernah berafiliasi dengan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang di mana sangat erat kaitannya dengan PKI. Yang menjadi pemicu sebenarnya bukan karena film-film Bachtiar Siagian memiliki unsur yang menjatuhkan pemerintah ataupun semacamnya, karena pemerintah pada masa itu, kan, mempunyai lembaga sensor film-nya sendiri. Yang menjadi masalah adalah ketika PKI menculik para Jenderal pada peristiwa yang disebut dengan Gestapu atau G30S/PKI. Seluruh pihak dan lembaga yang memiliki kaitan dengan golongan kiri mulai disorot oleh pemerintah sebagai penghancur integrasi negara. Bachtiar Siagian saat itu sedang di Bali untuk membuat film bernama Karmapala, dan sepulangnya beliau ke rumahnya, “beliau melihat kepala orang dipajang di pinggir jalan Banyuwangi” kata Indra Porhas Siagian, salah satu anak Bachtiar Siagian. Bachtiar Siagian akhirnya harus bersembunyi, kemudian akhirnya tertangkap juga dan menjadi tahanan politik selama belasan tahun. Beliau harus pindah dari penjara ke penjara, bahkan sampai ke kamp konsentrasi di mana beliau dipaksa untuk bekerja layaknya kuli. Namun, beliau menemukan teman-temannya yang berada di kamp konsentrasi tersebut. Setelah beliau bebas pada tahun 1979 pemerintah Orde Baru mempersulit keberlangsungan hidup mereka yang mantan tapol. Oleh karenanya, Bachtiar Siagian harus mengganti namanya untuk membuat film-film tertentu. Pasca peristiwa tersebut Bachtiar Siagian lebih banyak mendapat pesanan untuk membuat film semi-dokumenter untuk kementerian dan BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Film-film yang dapat dijadikan contoh ketika Bachtiar Siagian menggunakan nama samaran adalah: Intan Mendulang Cinta (1985), Tiga Dara Mencari Cinta (1986), dan Busana Dalam Mimpi (1987). Banyak yang menganggap Bachtiar Siagian sebagai pelopor utama neorealisme di Indonesia, meskipun film-film pertama yang memiliki unsur tersebut berasal dari Perfini di bawah naungan sutradara Usmar Ismail. Namun sayangnya, pasca pemberontakan G30S/PKI film-film karya Bachtiar Siagian dibakar, dengan dalih bahwa sang pembuat film merupakan anggota PKI. Yang tersisa dari seluruh film Bachtiar Siagian hanyalah film berjudul Violetta yang menceritakan cinta seorang gadis terhadap seorang tentara dan konfliknya dengan ibunya. Film tersebut rilis pada tahun 1962.



Gambar: Bachtiar Siagian, Tribunal 1965


Tren aliran neorealisme memiliki berbagai pengaruh ke seantero dunia, bahkan negara dunia ketiga pun juga merasakan maraknya neorealisme. Neorealisme sesungguhnya bercermin dari keadaan politik dan sosial. Di lain sisi, metodologi neorealisme sangat menggambarkan reaksi dari usaha pemerintahan dalam mengekang kreativitas sang sutradara, dimulai dari sensor hingga pesan yang dibawakan. Sutradara juga kerap menggunakan uang sendiri tanpa melibatkan industri konvensional karena target pasar mereka berbeda. Persebaran neorealisme dari tokoh-tokoh pembuat film di Italia seperti Luchino Visconti, Roberto Rossellini, Vittorio de Sica, dan lain-lain ternyata lumayan terbuka oleh sutradara yang mengalami konflik. Dari apa yang saya lihat, aliran neorealisme sebagai kritik sosial merupakan aliran yang tidak terkekang oleh waktu dan trennya, namun dapat diangkat kembali sesuai dengan keadaan sosial di daerah tertentu. Sutradara di Indonesia juga terpengaruh dengan munculnya film-film seperti Darah dan Doa, Si Pintjang, Enam Djam di Djogja, dan lain-lain. Tren neorealisme di Italia sesungguhnya berlangsung dari 1941-1952. Sedangkan di Indonesia, saya membatasi tren tersebut dari pembuatan film Darah dan Doa hingga ditangkapnya Bachtiar Siagian karena dianggap sebagai anggota Lekra yang berideologi sejajar dengan PKI. Film-film beliau dapat dipelajari lebih lanjut apabila tidak dibakar, sebagai seseorang yang dianggap pelopor neorealisme, film-film tersebut pastinya dapat kita pelajari, namun hanya Violetta-lah yang tersisa untuk ditonton dan aksesnya hanya terdapat di Perpustakaan Nasional.

6 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page